Sebenarnya alasan utama saya buru-buru ingin nonton film ini adalah karena ingin melihat James Franco, aktor muda hollywod yang tengah saya gandrungi, beradu peran dengan Julia Robert. Alasan kedua, saya ingin melihat bagaimana korelasi orang yang patah hati dan depresi kemudian menyembuhkan diri dengan makanan, berdoa, dan jatuh cinta lagi. Alasan ketiga, baru karena lokasi syutingnya di Bali..
Film berdurasi 2,5 jam itu ternyata biasa-biasa saja. Saya pun pulang dengan perasaan masygul karena beberapa hal:
1. James Franco mengecewakan saya. Di film itu ia tidak tampil maksimal. Entah kenapa. Mungkin karena saya teramat mengharapkan Ia akan bermain cemerlang seperti ketika berpasangan dengan Sean Penn dalam film ‘Milk’. Meski menjadi partner homoseksual, bercambang dan berkumis lebat, tapi di film itu karakternya terlihat jelas. Bukan peran nangung sebagai bocah 20 tahunan yang pacaran dengan perempuan lebih tua, dan tampak konyol seperti ini.
2. Proses penyembuhan diri Liz Gilbert hingga ia mendapatkan pencerahan, tak dikupas dengan jelas. Tentu saja Ia belajar mengucapkan ‘attraversiamo’ dengan lambaian tangan khas Italia dan melahap habis semua masakan di restoran-restoran kota Roma hingga celananya tak muat lagi. Lalu ia juga mencoba menemukan Tuhan dengan menyeberang ke India, belajar meditasi diiringi nyanyian sanskrit yang membahana. Pun, segala ritual khas sungai gangga itu juga gagal menampilkan esensi doa dan kedamaian. Llau yang terakhir, proses jatuh cinta dengan lelaki Brazil yang menabraknya di Bali juga digambarkan dengan sangat-sangat sederhana. Saya lebih kaget lagi setelah sadar bahwa si lelaki Brazil itu diperankan oleh Javier Bardem yang berakting sangat biasa. Hei..kemana perginya Javier Bardem yang saya lihat di ‘Mar Adentro’ atau ‘Vicky Christina Barcelona’ atau bahkan di film ‘No Country for old man’ itu? Kenapa yang saya lihat malam itu hanya ‘lelaki Brazil’ yang kikuk dan mencoba berperan sentimentil dan sedikit ceroboh?
3. Bali, dalam film itu digambarkan hanya sebagai tempat berlibur yang bisa diselingi dengan kegiatan menemui paranormal untuk mendapatkan petunjuk dalam melalui kerumitan hubungan percintaan. Dan Liz pun mengakuinya secara tersirat. Ketika ia bingung menentukan pilihan apakah ia harus membuka hatinya lagi atau tidak, Ia datang menemui sang dukun dengan penuh harap. Lalu ketika sang dukun bertitah, Liz buru-buru mengamini dan lari tunggang langgang mengejar si lelaki Brazil yang telah ditolaknya sekali, ketika Ia mengajaknya berlayar berdua ke sebuah pulau. Dan cerita selesai. Ya..hanya begitu saja.
Tapi meski tak sesuai harapan, saya tetap berpikiran positif dengan mencoba mengingat cuplikan adegan-adegan yang bisa saya beri nilai lebih. Memang, ada beberapa. Tapi yang paling berkesan menurut saya adalah ketika Liz merenung di dalam ceruk bulat ‘Augusteum’ dan memikirkan tentang hidup dan perubahan. Di sisa-sisa reruntuhan bangunan yang dibangun Kaisar Octavianus Augustus inilah, Liz menyadari makna keterpurukan, seperti ‘Augusteum’ tua yang dihancurkan kaum Barbar tanpa pernah dibangun lagi. Pilihannya hanya dua. Tetap terpuruk dan menua seperti istana Kaisar itu, atau berbenah dan melanjutkan hidup kembali seperti bangunan-bangunan cantik yang berkilau di seantero Roma. Liz pun memilih yang kedua.
Menurut saya, keseluruhan film itu bisa diringkas dkedalam satu kalimat yang diucapkan Liz seperti ini:
“This is a good sign, having a broken heart. It means we have tried for something. “